PRO CONTRA FATWA MUI DI MASA WABAH CORONA BEGINI ISINYA

Majelis Ulama Indonesia atau MUI mengeluarkan Fatwa No/14/tahun 2020 tentang penyelenggaraan ibadah umat Islam dalam situasi wabah yang banyak menuai pro dan kontra di kalangan umat muslim itu sendiri. Sebagian mengiyakan fatwa tersebut dan sebagian lainnya menolak. Kebanyakan dari mereka yang menolak karna kesalah pahaman memahami takdir dan memahami takut.
Takut itu sendiri menurut penjelasan Ustad Tengku Zulkarnain ada takut manusiawi atau takut Thobi'i dan takut syar'i. Takut manusiawi contohnya seperti takut kepada binatang buas, takut tertabrak kendaran, takut pada perampok sadis, takut diculik, dan lain sebagainya. Sedangkan takut syar'i dan ini tentu dilarang dalam agama yaitu seperti takut miskin dan takut kepada tuhan selain Allah.
Mengenai takdir hidup dan mati kita sudah ditentukan oleh Allah swt. Namun, dalam menjalani hidup ada namanya ikhtiar setelah berusaha. Mati itu takdir yang sudah pasti akan terjadi. Dalam situasi seperti penyebaran wabah yang menular ke orang banyak, ikhtiar kita adalah menghindari wabah tersebut sebisa mungkin sebab jika ternyata kita membawa wabah itu dan menularkan keorang lain tentu sama saja kita mencelakai saudara kita sendiri.
Terkait dengan takut atau rasa khawatir berlebihan, Allah SWT dalam QS. Thaha ayat 44-45 Allah berfirman kepada Nabi Musa as dan Nabi Harun as untuk menemui Fir'aun.
44. maka berbicaralah kamu berdua kepadanya (Fir‘aun) dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan dia sadar atau takut.
45. Keduanya berkata, “Ya Tuhan kami, sungguh, kami khawatir dia akan segera menyiksa kami atau akan bertambah melampaui batas,”
Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS merasa takut/khawatir akan disiksa oleh Fir'aun. Lantas itu tidak berarti bahwa Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS takut kepada selain Allah. Begitu pula takut kepada Virus Corona tidak lantas membuat kita takut kepada selain Allah.
Dalam Fatwa MUI No/14/2020 memiliki 9 point yang berbunyi sebagai berikut:
Ketentuan Hukum
1. Setiap orang wajib melakukan ikhtiar menjaga kesehatan dan menjauhi setiap hal yang diyakini dapat menyebabkannya terpapar penyakit, karena hal itu merupakan bagian dari menjaga tujuan pokok beragama (al-Dharuriyat al-Khams).
2. Orang yang telah terpapar virus Corona, wajib menjaga dan mengisolasi diri agar tidak terjadi penularan kepada orang lain.
Baginya shalat Jumat dapat diganti dengan shalat zuhur di tempat kediaman, karena shalat Jumat merupakan ibadah wajib yang melibatkan banyak orang sehingga berpeluang terjadinya penularan virus secara massal.
Baginya haram melakukan aktivitas ibadah sunnah yang membuka terjadinya penularan, seperti jamaah sholat lima waktu (rawatib), sholat tarawih dan ied di mesjid atau tempat umum lainnya, serta menghadiri pengajian umum dan tabligh akbar.
3. Orang yang sehat dan yang belum diketahui atau diyakini tidak terpapar COVID-19, harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. Dalam hal ia berada di suatu kawasan yang potensi penularannya tinggi atau sangat tinggi berdasarkan ketetapan pihak yang berwenang maka ia boleh meninggalkan salat Jumat dan menggantikannya dengan shalat zuhur di tempat kediaman, serta meninggalkan jamaah shalat lima waktu atau rawatib, tarawih, dan ied di masjid atau tempat umum lainnya.
b. Dalam hal ia berada di suatu kawasan yang potensi penularannya rendah berdasarkan ketetapan pihak yang berwenang maka ia tetap wajib menjalankan kewajiban ibadah sebagaimana biasa dan wajib menjaga diri agar tidak terpapar virus corona. Seperti tidak kontak fisik langsung (bersalaman, berpelukan, cium tangan), kemudian membawa sajadah sendiri, dan sering membasuh tangan dengan sabun.
Note : dalam poin 3 bagian b dijelaskan bahwa ketika kita berada di wilayah yang potensi wilayahnya rendah dan berdasarkan keterangan pihak berwenang maka ia tetap wajib menjalankan kewajiban ibadah serta wajib menjaga diri agar tidak terpapar virus corona dan tidak perlu ada penutupan mesjid.
4. Dalam kondisi penyebaran virus corona tidak terkendali di suatu kawasan yang mengancam jiwa, umat Islam tidak boleh menyelenggarakan shalat jumat di kawasan tersebut sampai keadaan menjadi normal kembali dan wajib menggantikannya dengan shalat zuhur di tempat masing-masing.
Demikian juga tidak boleh menyelenggarakan aktifitas ibadah yang melibatkan orang banyak dan diyakini dapat menjadi media penyebaran Covid-19, seperti jemaah shalat lima waktu atau rawatib, shalat tarawih, dan ied, (yang dilakukan) di masjid atau tempat umum lainnya, serta menghadiri pengajian umum dan majelis taklim.
5. Dalam kondisi penyebaran Covid-19 terkendali, umat Islam wajib menyelenggarakan shalat Jumat.
6. Pemerintah menjadikan fatwa ini sebagai pedoman dalam upaya penanggulangan virus corona terkait dengan masalah keagamaan dan umat Islam wajib mentaatinya.
7. Pengurusan jenazah (tajhiz janazah) yang terpapar virus corona, terutama dalam memandikan dan mengkafani harus dilakukan sesuai protokol medis dan dilakukan oleh pihak yang berwenang, dengan tetap memperhatikan ketentuan syariat. Sedangkan untuk menshalatkan dan menguburkannya dilakukan sebagaimana biasa dengan tetap menjaga agar tidak terpapar virus covid-19.
8. Tindakan yang menimbulkan kepanikan dan atau menyebabkan kerugian publik, seperti memborong atau menimbun kebutuhan pokok serta masker dan menyebarkan informasi hoax hukumnya haram.
9. Tindakan yang menimbulkan kepanikan dan atau menyebabkan kerugian publik, seperti memborong dan menimbun bahan kebutuhan pokok dan menimbun masker hukumnya haram.
Beberapa rujukan hadits tentang dibolehkan-nya beribadah dirumah dalam kondisi-kondisi tertentu.
Beberapa rujukan hadits tentang dibolehkan-nya beribadah dirumah dalam kondisi-kondisi tertentu.
"Jika kamu mendengar wabah disuatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya. Tapi jika terjadi wabah ditempat kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu."(HR. Bukhari)
Quraish Shihab menjelaskan, sahabat nabi bahkan pernah mengubah redaksi azan ketika terjadi hujan lebat. Dalam redaksi azan tersebut, umat Islam diajak untuk melaksanakan shalat di rumahnya masing-masing. Dimana pada zaman sahabat-sahabat Nabi pernah terjadi hujan lebat sehingga jalan becek. Azan ketika itu diubah redaksinya. Kalau di dalam azan ada kalimat yang menyatakan hayya ala shalah, 'mari melaksanakan shalat', maka panggilan ketika itu berbunyi, shalatlah di rumah kalian masing-masing,”. Apalagi yang berkaitan dengan keselamatan jiwa.
Diambil dari berbagai sumber
Post a Comment for "PRO CONTRA FATWA MUI DI MASA WABAH CORONA BEGINI ISINYA"
Terima Kasih Telah Berkunjung